Total Tayangan Halaman

Jumat, 06 Januari 2012

Sejarah

PALESTINA Tercinta

Semenjak awal sejarah Islam, Palestina, dan kota Yerusalem khususnya, telah menjadi tempat suci bagi umat Islam. Sebaliknya bagi Yahudi dan Nasrani, umat Islam telah menjadikan kesucian Palestina sebagai sebuah kesempatan untuk membawa kedamaian kepada daerah ini. Dalam bab ini kita akan membahas beberapa contoh sejarah dari kenyataan ini.

‘Isa (Yesus), salah satu nabi yang diutus kepada umat Yahudi, menandai titik balik penting lainnya dalam sejarah Yahudi. Orang-orang Yahudi menolaknya, dan kemudian diusir dari Palestina serta mengalami banyak ketidakberuntungan. Pengikutnya kemudian dikenal sebagai umat Nasrani. Akan tetapi, agama yang disebut Nasrani atau Kristen saat ini didirikan oleh orang lain, yang disebut Paulus (Saul dari Tarsus). Ia menambahkan pemandangan pribadinya tentang Isa ke dalam ajaran yang asli dan merumuskan sebuah ajaran baru di mana Isa tidak disebut sebagai seorang nabi dan Al-Masih, seperti seharusnya, melainkan dengan sebuah ciri ketuhanan. Setelah dua setengah abad ditentang di antara orang-orang Nasrani, ajaran Paulus dijadikan doktrin Trinitas (Tiga Tuhan). Ini adalah sebuah penyimpangan dari ajaran Isa dan pengikut-pengikut awalnya. Setelah ini, Allah menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW sehingga beliau bisa mengajarkan Islam, agama Ibrahim, Musa, dan Isa, kepada seluruh umat manusia.

Yerusalem itu suci bagi umat Islam karena dua alasan: kota ini adalah kiblat pertama yang dihadapi oleh umat Islam selama ibadah sholatnya, dan merupakan tempat yang dianggap sebagai salah satu mukjizat terbesar yang dilakukan oleh Nabi Muhammad: mikraj, perjalanan malam dari Mesjid Haram di Mekkah menuju Mesjid Aqsa di Yerusalem, kenaikannya ke langit, dan kembali lagi ke Mesjid Haram. Al-Qur’an menerangkan kejadian ini sebagai berikut:

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Qur’an, 17:1)

Dalam wahyu-wahyu Al-Qur’an kepada Nabi SAW, sebagian besar ayat-ayat yang berkesesuaian mengacu kepada Palestina sebagai “tanah suci, yang diberkati.” Ayat 17:1 menggambarkan tempat ini, yang di dalamnya ada Mesjid Aqsa sebagai tanah “yang Kami berkati disekelilingnya.” Dalam ayat 21:71, yang menggambarkan keluarnya Nabi Ibrahim dan Luth, tanah yang sama disebut sebagai “tanah yang Kami berkati untuk semua makhluk.” Pada saat bersamaan, Palestina secara keseluruhan penting artinya bagi umat Islam karena begitu banyak nabi Yahudi yang hidup dan berjuang demi Allah, mengorbankan hidup mereka, atau meninggal dan dikuburkan di sana.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan dalam 2000 tahun terakhir, umat Islam telah menjadi satu-satunya kekuatan yang membawa kedamaian kepada Yerusalem dan Palestina.

Khalifah Umar Membawa Perdamaian dan Keadilan bagi Palestina

Setelah Roma mengusir Yahudi dari Palestina, Yerusalem dan sekitarnya menjadi lenyap.

Akan tetapi, Yerusalem kembali menjadi pusat perhatian setelah Pemerintah Romawi Constantine memeluk agama Nasrani (312). Orang-orang Roma Kristen membangun gereja-gereja di Yerusalem, dan menjadikannya sebagai sebuah kota Nasrani. Palestina tetap menjadi daerah Romawi (Bizantium) hingga abad ketujuh, ketika negeri ini menjadi bagian Kerajaan Persia selama masa yang singkat. Akhirnya, Bizantium kembali menguasainya.

Tahun 637 menjadi titik balik penting dalam sejarah Palestina, karena setelah masa ini daerah ini berada di bawah kendali kaum Muslimin. Peristiwa ini mendatangkan perdamaian dan ketertiban bagi Palestina, yang selama berabad-abad telah menjadi tempat perang, pengasingan, penyerangan, dan pembantaian. Apa lagi, setiap kali daerah ini berganti penguasa, seringkali menyaksikan kekejaman baru. Di bawah pemerintahan Muslim, penduduknya, tanpa melihat keyakinan mereka, hidup bersama dalam damai dan ketertiban.

Palestina ditaklukkan oleh Umar Bin Khattab, khalifah kedua. Ketika memasuki Yerusalem, toleransi, kebijaksanaan, dan kebaikan yang ditunjukkannya kepada penduduk daerah ini, tanpa membeda-bedakan agama mereka menandai awal dari sebuah zaman baru yang indah. Seorang pengamat agama terkemuka dari Inggris Karen Armstrong menggambarkan penaklukan Yerusalem oleh Umar dalam hal ini, dalam bukunya Holy War:

Khalifah Umar memasuki Yerusalem dengan mengendarai seekor unta putih, dikawal oleh pemuka kota tersebut, Uskup Yunani Sofronius. Sang Khalifah minta agar ia dibawa segera ke Haram asy-Syarif, dan di sana ia berlutut berdoa di tempat temannya Muhammad melakukan perjalanan malamnya. Sang uskup melihatnya dengan ketakutan: ini, ia pikir, pastilah akan menjadi penaklukan penuh kengerian yang pernah diramalkan oleh Nabi Daniel akan memasuki rumah ibadat tersebut; Ia pastilah sang Anti Kristus yang akan menandai Hari Kiamat. Kemudian Umar minta melihat tempat-tempat suci Nasrani, dan ketika ia berada di Gereja Holy Sepulchre, waktu sholat umat Islam pun tiba. Dengan sopan sang uskup menyilakannya sholat di tempat ia berada, tapi Umar dengan sopan pula menolak. Jika ia berdoa dalam gereja, jelasnya, umat Islam akan mengenang kejadian ini dengan mendirikan sebuah mesjid di sana, dan ini berarti mereka akan memusnahkan Holy Sepulchre. Justru Umar pergi sholat di tempat yang sedikit jauh dari gereja tersebut, dan cukup tepat (perkiraannya), di tempat yang langsung berhadapan dengan Holy Sepulchre masih ada sebuah mesjid kecil yang dipersembahkan untuk Khalifah Umar.

Mesjid besar Umar lainnya didirikan di Haram asy-Syarif untuk menandai penaklukan oleh umat Islam, bersama dengan mesjid al-Aqsa yang mengenang perjalanan malam Muhammad. Selama bertahun-tahun umat Nasrani menggunakan tempat reruntuhan biara Yahudi ini sebagai tempat pembuangan sampah kota. Sang khalifah membantu umat Islam membersihkan sampah ini dengan tangannya sendiri dan di sana umat Islam membangun tempat sucinya sendiri untuk membangun Islam di kota suci ketiga bagi dunia Islam.9

Pendeknya, umat Islam membawa peradaban bagi Yerusalem dan seluruh Palestina. Bukan memegang keyakinan yang tidak menunjukkan hormat kepada nilai-nilai suci orang lain dan membunuh orang-orang hanya karena mereka mengikuti keyakinan berbeda, budaya Islam yang adil, toleran, dan lemah lembut membawa kedamaian dan ketertiban kepada masyarakat Muslim, Nasrani, dan Yahudi di daerah itu. Umat Islam tidak pernah memilih untuk memaksakan agama, meskipun beberapa orang non-Muslim yang melihat bahwa Islam adalah agama sejati pindah agama dengan bebas menurut keinginannya sendiri.

Perdamaian dan ketertiban ini terus berlanjut sepanjang orang-orang Islam memerintah di daerah ini. Akan tetapi, di akhir abad kesebelas, kekuatan penakluk lain dari Eropa memasuki daerah ini dan merampas tanah beradab Yerusalem dengan tindakan tak berperikemanusiaan dan kekejaman yang belum pernah terlihat sebelumnya. Para penyerang ini adalah Tentara Perang Salib.

Kekejaman Tentara Perang Salib dan Keadilan Salahuddin
Ketika orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Islam hidup bersama dalam kedamaian, sang Paus memutuskan untuk membangun sebuah kekuatan perang Salib. Mengikuti ajakan Paus Urbanius II pada 27 November 1095 di Dewan Clermont, lebih dari 100.000 orang Eropa bergerak ke Palestina untuk “memerdekakan” tanah suci dari orang Islam dan mencari kekayaan yang besar di Timur. Setelah perjalanan panjang dan melelahkan, dan banyak perampasan dan pembantaian di sepanjang perjalanannya, mereka mencapai Yerusalem pada tahun 1099. Kota ini jatuh setelah pengepungan hampir 5 minggu. Ketika Tentara Perang Salib masuk ke dalam, mereka melakukan pembantaian yang sadis. Seluruh orang-orang Islam dan Yahudi dibasmi dengan pedang.

Dalam perkataan seorang ahli sejarah: “Mereka membunuh semua orang Saracen dan Turki yang mereka temui… pria maupun wanita.”10 Salah satu tentara Perang Salib, Raymond dari Aguiles, merasa bangga dengan kekejaman ini:

Pemandangan mengagumkan akan terlihat. Beberapa orang lelaki kami (dan ini lebih mengasihi sifatnya) memenggal kepala-kepala musuh-musuh mereka; lainnya menembaki mereka dengan panah-panah, sehingga mereka berjatuhan dari menara-menara; lainnya menyiksa mereka lebih lama dengan memasukkan mereka ke dalam nyala api. Tumpukan kepala, tangan, dan kaki akan terlihat di jalan-jalan kota. Perlu berjalan di atas mayat-mayat manusia dan kuda. Tapi ini hanya masalah kecil jika dibandingkan dengan apa yang terjadi pada Biara Sulaiman, tempat di mana ibadah keagamaan kini dinyanyikan kembali… di biara dan serambi Sulaiman, para pria berdarah-darah disuruh berlutut dan dibelenggu lehernya.11
Dalam dua hari, tentara Perang Salib membunuh sekitar 40.000 orang Islam dengan cara tak berperikemanusiaan seperti yang telah digambarkan.12 Perdamaian dan ketertiban di Palestina, yang telah berlangsung semenjak Umar, berakhir dengan pembantaian yang mengerikan.

Tentara Perang Salib menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota mereka, dan mendirikan Kerajaan Katolik yang terbentang dari Palestina hingga Antakiyah. Namun pemerintahan mereka berumur pendek, karena Salahuddin mengumpulkan seluruh kerajaan Islam di bawah benderanya dalam suatu perang suci dan mengalahkan tentara Perang Salib dalam pertempuran Hattin pada tahun 1187. Setelah pertempuran ini, dua pemimpin tentara Perang Salib, Reynald dari Chatillon dan Raja Guy, dibawa ke hadapan Salahuddin. Beliau menghukum mati Reynald dari Chatillon, yang telah begitu keji karena kekejamannya yang hebat yang ia lakukan kepada orang-orang Islam, namun membiarkan Raya Guy pergi, karena ia tidak melakukan kekejaman yang serupa. Palestina sekali lagi menyaksikan arti keadilan yang sebenarnya.

Tiga bulan setelah pertempuran Hattin, dan pada hari yang tepat sama ketika Nabi Muhammad SAW diperjalankan dari Mekah ke Yerusalem untuk perjalanan mikrajnya ke langit, Salahuddin memasuki Yerusalem dan membebaskannya dari 88 tahun pendudukan tentara Perang Salib. Sebaliknya dengan “pembebasan” tentara Perang Salib, Salahuddin tidak menyentuh seorang Nasrani pun di kota tersebut, sehingga menyingkirkan rasa takut mereka bahwa mereka semua akan dibantai. Ia hanya memerintahkan semua umat Nasrani Latin (Katolik) untuk meninggalkan Yerusalem. Umat Nasrani Ortodoks, yang bukan tentara Perang Salib, dibiarkan tinggal dan beribadah menurut yang mereka pilih.

Karen Armstrong menggambarkan penaklukan keduakalinya atas Yerusalem ini dengan kata-kata berikut ini:

Pada tanggal 2 Oktober 1187, Salahuddin dan tentaranya memasuki Yerusalem sebagai penakluk dan selama 800 tahun berikutnya Yerusalem tetap menjadi kota Muslim. Salahuddin menepati janjinya, dan menaklukkan kota tersebut menurut ajaran Islam yang murni dan paling tinggi. Dia tidak berdendam untuk membalas pembantaian tahun 1099, seperti yang Al-Qur’an anjurkan (16:127), dan sekarang, karena permusuhan dihentikan, ia menghentikan pembunuhan (2:193-194). Tak ada satu orang Kristen pun yang dibunuh dan tidak ada perampasan. Jumlah tebusan pun disengaja sangat rendah…. Salahuddin menangis tersedu-sedu karena keadaan mengenaskan keluarga-keluarga yang hancur terpecah-belah dan ia membebaskan banyak dari mereka, sesuai imbauan Al-Qur’an, meskipun menyebabkan keputusasaan bendaharawan negaranya yang telah lama menderita. Saudara lelakinya al-Adil begitu tertekan karena penderitaan para tawanan sehingga dia meminta Salahuddin untuk membawa seribu orang di antara mereka bersamanya dan kemudian membebaskan mereka di tempat itu juga… Semua pemimpin Muslim merasa tersinggung karena melihat orang-orang Kristen kaya melarikan diri dengan membawa kekayaan mereka, yang bisa digunakan untuk menebus semua tawanan… [Uskup] Heraclius membayar tebusan dirinya sebesar sepuluh dinar seperti halnya tawanan lain dan bahkan diberi pengawal pribadi untuk mempertahankan keselamatan harta bendanya selama perjalanan ke Tyre.13

Pendeknya, Salahuddin dan tentaranya memperlakukan orang-orang Nasrani dengan kasih sayang dan keadilan yang agung, dan menunjukkan kepada mereka kasih sayang yang lebih dibanding yang diperlihatkan oleh pemimpin mereka.
Setelah Yerusalem, tentara Perang Salib melanjutkan perbuatan tidak berprikemanusiaannya dan orang-orang Islam meneruskan keadilannya di kota-kota Palestina lainnya. Pada tahun 1194, Richard Si Hati Singa, yang digambarkan sebagai seorang pahlawan dalam sejarah Inggris, memerintahkan untuk menghukum mati 3000 orang Islam, yang kebanyakan di antaranya wanita-wanita dan anak-anak, secara tak berkeadilan di Kastil Acre. Meskipun orang-orang Islam menyaksikan kekejaman ini, mereka tidak pernah memilih cara yang sama. Mereka malah tunduk kepada perintah Allah: “Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka)…”(Qur’an 5:2) dan tidak pernah melakukan kekejaman kepada orang-orang sipil yang tak bersalah. Di samping itu, mereka tidak pernah menggunakan kekerasan yang tidak perlu, bahkan kepada tentara Perang Salib sekalipun.

Kekejaman tentara Perang Salib dan keadilan orang-orang Islam sekali lagi terungkap sebagai kebenaran sejarah: Sebuah pemerintahan yang dibangun di atas dasar-dasar Islam memungkinkan orang-orang dari keyakinan berbeda untuk hidup bersama. Kenyataan ini terus ditunjukkan selama 800 tahun setelah Salahuddin khususnya selama masa Ottoman.

Pemerintahan Kesultanan Ottoman yang Adil dan Toleran
Pada tahun 1514, Sultan Salim menaklukkan Yerusalem dan daerah-daerah sekitarnya dan sekitar 400 tahun pemerintahan Ottoman di Palestina pun dimulai. Seperti di negara-negara Ottoman lainnya, masa ini menyebabkan orang-orang Palestina menikmati perdamaian dan stabilitas meskipun kenyataannya pemeluk tiga keyakinan berbeda hidup berdampingan satu sama lain.

Kesultanan Ottoman diperintah dengan “sistem bangsa (millet),” yang gambaran dasarnya adalah bahwa orang-orang dengan keyakinan berbeda diizinkan hidup menurut keyakinan dan sistem hukumnya sendiri. Orang-orang Nasrani dan Yahudi, yang disebut Al-Qur’an sebagai Ahli Kitab, menemukan toleransi, keamanan, dan kebebasan di tanah Ottoman.

Alasan terpenting dari hal ini adalah bahwa, meskipun Kesultanan Ottoman adalah negara Islam yang diatur oleh orang-orang Islam, kesultanan tidak ingin memaksa rakyatnya untuk memeluk Islam. Sebaliknya kesultanan ingin memberikan kedamaian dan keamanan bagi orang-orang non-Muslim dan memerintah mereka dengan cara sedemikian sehingga mereka nyaman dalam aturan dan keadilan Islam.

Negara-negara besar lainnya pada saat yang sama mempunyai sistem pemerintahan yang lebih kejam, menindas, dan tidak toleran. Spanyol tidak membiarkan keberadaan orang-orang Islam dan Yahudi di tanah Spanyol, dua masyarakat yang mengalami penindasan hebat. Di banyak negara-negara Eropa lainnya, orang Yahudi ditindas hanya karena mereka adalah orang Yahudi (misalnya, mereka dipaksa untuk hidup di kampung khusus minoritas Yahudi (ghetto), dan kadangkala menjadi korban pembantaian massal (pogrom). Orang-orang Nasrani bahkan tidak dapat berdampingan satu sama lain: Pertikaian antara Protestan dan Katolik selama abad keenambelas dan ketujuhbelas menjadikan Eropa sebuah medan pertempuran berdarah. Perang Tiga Puluh Tahun (1618-1648) adalah salah satu akibat pertikaian ini. Akibat perang itu, Eropa Tengah menjadi sebuah ajang perang dan di Jerman saja, 5 juta orang (sepertiga jumlah penduduknya) lenyap.

Bertolak belakang dengan kekejaman ini, Kesultanan Ottoman dan negara-negara Islam membangun pemerintahan mereka berdasarkan perintah Al-Qur’an tentang pemerintahan yang toleran, adil, dan berprikemanusiaan. Alasan keadilan dan peradaban yang dipertunjukkan oleh Umar, Salahuddin, dan sultan-sultan Ottoman, serta banyak penguasa Islam, yang diterima oleh Dunia Barat saat ini, adalah karena keimanan mereka kepada perintah-perintah Al-Qur’an, yang beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Qur’an, 4:58)

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (Qur’an, 4:135)
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (Qur’an, 60:8)

Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (Qur’an, 49:9)

Ada sebuah ungkapan yang digunakan dalam politik bahwa “kekuasaan itu menyimpang, dan kekuasaan mutlak itu mutlak menyimpang.” Ini berarti bahwa setiap orang yang menerima kekuasaan politik kadangkala menjadi menyimpang secara akhlak karena kesempatan yang ia peroleh. Ini benar-benar terjadi pada sebagian besar manusia, karena mereka membentuk kehidupan akhlak mereka menurut tekanan sosial. Dengan kata lain, mereka menghindari perbuatan tak berakhlak karena mereka takut pada ketidaksetujuan atau hukuman masyarakat. Namun pihak berwenang memberi mereka kekuasaan, dan menurunkan tekanan sosial atas mereka. Akibatnya, mereka menjadi menyimpang atau merasa jauh lebih mudah untuk berkompromi dengan kehidupan akhlak mereka sendiri. Jika mereka memiliki kekuasaan mutlak (sehingga menjadi para diktator), mereka mungkin mencoba untuk memuaskan keinginan mereka sendiri dengan cara apa pun.
Satu-satunya contoh manusiawi yang tidak disentuh oleh hukum penyimpangan tersebut adalah orang yang dengan ikhlas percaya kepada Allah, memeluk agamanya karena rasa takut dan cinta kepada-Nya dan hidup menurut agama itu. Karena itu, akhlak mereka tidak ditentukan oleh masyarakat, dan bahkan bentuk kekuasaan mutlak pun tidak mampu mempengaruhi mereka. Allah menyatakan ini dalam sebuah ayat:

(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan. (Qur’an, 22:41)

Dalam Al-Qur’an, Allah menjadikan Daud AS, sebagai contoh tentang penguasa yang ideal, yang menerangkan bagaimana ia mengadili dengan keadilan orang-orang yang datang untuk meminta keputusannya dan bagaimana ia berdoa dengan pengabdian seutuhnya kepada Allah. (Al-Qur’an, 38:24)
Sejarah Islam, yang mencerminkan akhlak yang Allah ajarkan kepada umat Islam dalam Al-Qur’an, penuh dengan penguasa-penguasa yang adil, berkasih sayang, rendah hati, dan bijaksana. Karena para penguasa Muslim takut kepada Allah, mereka tidak dapat berperilaku dengan cara yang menyimpang, sombong atau kejam. Tentu ada penguasa Muslim yang menjadi menyimpang dan keluar dari akhlak Islami, namun mereka adalah pengecualian dan penyimpangan dari norma tersebut. Oleh karena itu, Islam terbukti menjadi satu-satunya sistem keimanan yang menghasilkan bentuk pemerintahan yang adil, toleran, dan berkasih sayang selama 1400 tahun terakhir.

Tanah Palestina adalah sebuah bukti pemerintahan Islam yang adil dan toleran, dan memberi pengaruh kepada banyak kepercayaan dan gagasan. Seperti telah disebutkan sebelumnya, pemerintahan Nabi Muhammad SAW, Umar, Salahuddin, dan sultan-sultan Ottoman adalah pemerintahan yang bahkan orang-orang non-Muslim pun sepakat dengannya. Masa pemerintahan yang adil ini berlanjut hingga abad kedua puluh, dengan berakhirnya pemerintahan Muslim pada tahun 1917, daerah tersebut jatuh ke dalam kekacauan, teror, pertumpahan darah, dan perang.

Yerusalem, pusat tiga agama, mengalami masa stabilitas terpanjang dalam sejarahnya di bawah Ottoman, ketika kedamaian, kekayaan, dan kesejahteraan berkuasa di sana dan di seluruh kesultanan. Umat Nasrani, Yahudi, dan Muslim, dengan berbagai golongannya, beribadah menurut yang mereka sukai, dihormati keyakinannya, dan mengikuti kebiasaan dan tradisi mereka sendiri. Ini dimungkinkan karena Ottoman memerintah dengan keyakinan bahwa membawa keteraturan, keadilan, kedamaian, kesejahteraan, dan toleransi kepada daerah mereka adalah sebuah kewajiban suci.

Banyak ahli sejarah dan ilmuwan politik telah memberi perhatian kepada kenyataan ini. Salah satu dari mereka adalah ahli Timur Tengah yang terkenal di seluruh dunia dari Columbia University, Profesor Edward Said. Berasal dari sebuah keluarga Nasrani di Yerusalem, ia melanjutkan penelitiannya di universitas-universitas Amerika, jauh dari tanah airnya. Dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Israel Ha’aretz, ia menganjurkan dibangkitkannya “sistem bangsa Ottoman” jika perdamaian permanen ingin dibangun di Timur Tengah. Dalam pernyataannya,

Sebuah minoritas Yahudi bisa bertahan dengan cara minoritas lainnya di dunia Arab bertahan… ini cukup berfungsi baik di bawah Kesultanan Ottoman, dengan sistem millet-nya. Sebuah sistem yang kelihatannya jauh lebih manusiawi dibandingkan sistem yang kita miliki sekarang.14

Memang, Palestina tidak pernah menyaksikan pemerintahan “manusiawi” lain begitu pemerintahan Ottoman berakhir. Antara dua perang dunia, Inggris menghancurkan orang-orang Arab dengan strategi “memecah dan menaklukkannya” dan serentak memperkuat Zionis, yang kemudian terbukti menentang, bahkan terhadap mereka sendiri. Zionisme memicu kemarahan orang-orang Arab, dan dari tahun 1930an, Palestina menjadi tempat pertentangan antara kedua kelompok ini. Zionis membentuk kelompok teroris untuk melawan orang-orag Palestina, dan segera setelahnya, mulai menyerang orang-orang Inggris pula. Begitu Inggris berlepas tangan dan menyerahkan kekuasaannya atas daerah ini pada 1947, pertentangan inim yang berubah menjadi perang dan pendudukan Israel serta pembantaian (yang terus berlanjut hingga hari ini) mulai bertambah parah.

Agar daerah ini dapat menikmati pemerintahan “manusiawi”nya kembali, orang-orang Yahudi harus meninggalkan Zionisme dan tujuannya tentang “Palestina yang secara khusus bagi orang-orang Yahudi,” dan menerima gagasan berbagi daerah dengan orang-orang Arab dengan syarat yang sama. Bangsa Arab, dengan demikian pula, harus menghilangkan tujuan yang tidak Islami seperti “melemparkan Israel ke laut” atau “memenggal kepala semua orang Yahudi,” dan menerima gagasan hidup bersama dengan mereka. Menurut Said, ini berarti mengembalikan lagi sistem Ottoman, yang merupakan satu-satunya pemecahan yang akan memungkinkan orang-orang di daerah ini hidup dalam perdamaian dan ketertiban. Sistem ini mungkin dapat menciptakan sebuah lingkungan perdamaian wilayah dan keamanan, seperti yang pernah terjadi di masa lalu.

Dalam bab terakhir, kita akan membahas dengan rinci pemecahan ini. Namun sebelum kita melakukannya, mari kita tinjau kembali masa lalu untuk meneliti kekacauan dan kekejaman yang menguasai Palestina setelah pemerintahan Muslim berakhir.

Rangkaian Penistaan terhadap Masjid Ibrahimi

Khusus-Infopalestina: -Tanggal 25 Pebruari adalah bertepatan dengan 16 tahun pembantaian di Masjid Ibrahimi di kota Khalil (Hebron), selatan Tepi Barat. Pembantaian yang dilakukan seorang pemukim Yahudi yang menelan korban 29 Palestina gugur dan puluhan lainnya luka-luka.

Pembantaian itu bukanlah yang pertama dan terakhir yang menodai masjid tersebut. Seorang peneliti Palestina telah mencatat ada lebih dari 660 kali penodaan sejak tahun 1967 (sejarah masjid awal dijajaha) hingga akhir 2000. Ditambah ratusan kali penodaan sering berulang sejak tahun 2000. Peneliti Palestina, Muhammad Deyab Abu Saleh, menjelaskan macam-macam pelecehan dan penodaan seperti pembunuhan, penghinaan, pemukulan, pengumpatan, menghina nama Tuhan dan Islam, mengganggu orang sholat, bahkan dilarang sholat, meletakkan bahan-bahan kimia di air minum, di pintu, di jendela dan sajadah.

Terkait serangkaian penindasan yang dialami Masjid Ibrahimi, peneliti dan pengarang buku “Khalil, kota Arab Islami” ini meringkasnya dalam beberapa hal. Diantarannya; dijadikan tempat menyanyi, berdansa, kemaksiatan, khitan, memasukkan anjing, merubah tanda bangunan dan membuat portal di tempat masuk masjid. Ditambah lagi membagi dua dan merubah sebagian tempat di masjid menjadi sinagog Yahudi. Meletakkan kamera pemantau, kamera mata-mata dan alat penyadap di pojok-pojok masjid.

Sumber :http://www.tragedipalestina.com

Penindasan Berulang Terjadi

Penindasan yang paling terkenal dan pertama kali dilakukan adalah tanggal 8 Juni 1967, menurut peneliti Palestina itu, karena ketika menjajah kota Khalil, Israel langsung menduduki Masjid Ibrahimi. Dengan paksa mereka masuk masjid diikuti petinggi rahib Yahudi dan mengibarkan bendera Zionis Israel di atas masjid lalu melarang umat Islam sholat didalamnya. Ia menambahkan, penindasan dan penodaan terhadap Masjid Ibrahimi itu terus berlangsung hingga penggrebekan. Aksi-aksi penindasan yang paling populer adalah sebagai berikut:

- 18 Desember 1967: penjajah Israel memasukkan lemari kayu yang didalamnya ada Kitab Taurat ke dalam masjid.

- 11 Oktober 1968: tangga yang menuju ke masjid dirobohkan dan menghancurkan sumur bersejarah yang bersebelahan dengan pagar masjid.

- 31 Oktober 1968: petinggi militer di Khalil memerintahkan kepala wakaf dan arsif untuk mencaplok Ya’qubiyah (bagian dari masjid) dan menjadikannya sebagai tempat ibadah orang Yahudi.

- 2 November 1976: 15 pemukim Yahudi masuk ke masjid dan merobek mushaf Al-Qur’an serta menginjak-injaknya. Di dalam masjid, mereka sempat tinggal sampai beberapa jam.

- 13 Januari 1977: seorang serdadu Israel berdiri di belakang jama’ah sholat Zuhur dan melempar bahan seperti cabe sehingga jama’ah sesak napas dan pilek.

- 13 Mei 1987: serdadu Israel yang berada di masjid mencelah nama Rasulullah SAW saat kumandang azan dan mengancam dengan pembunuhan jika dilanjutkan.

- 13 Oktober 1987: Penguasa kota memerintahkan kepala arsif untuk memasang alat-alat elektronik di tiga pintu masuk utama masjid, memasang kamera televisi dan pintu otomatis.

- 18 September 1991: pemukim Yahudi melemparkan kursi ke arah jama’ah sholat Ashar, mengobrak-abrik portal besi lalu masuk ke masjid dengan sepatu dan sandal mereka. Kemudian memukuli orang-orang tua dan lemah.

Hari Pembantaian

- 25 Pebruari 1994: pemukim Yahudi bernama Baroch Goldstein merangsek masuk masjid saat jama’ah tengah melaksanakan reka’at kedua di sholat Subuh. Kemudian ia langsung melepaskan tembakan dan bom membantai 29 warga Palestina. Kemudian terjadi bentrokan di luar masjid yang mengakibatkan sekitar 30 warga Palestina gugur syahid. Setelah itu komisi penyidikan memutuskan membagi masjid menjadi dua dan merubah sebagian besar tempat masjid menjadi sinagog.

- 15 Agustus 1994: pihak penjajah Zionis Israel memasang 14 kamera terbaru, 58 lampu sorot dan alat peringatan baru.

- 13 Pebruari 1995: pihak penjajah Zionis Israel membangun ruangan permanen untuk polisi dan dua kamar ganti untuk militer di taman masjid.

- 10 Juni 1996: militer Zionis Israel memasang alat penghitung di pintu-pintu otomatis untuk menghitung jumlah jema’ah sholat.

- 31 Januari 1998: pemukim Yahudi menumpahkan air panas ke dua kepala penjaga masjid.

- 21 Pebruari 2010: pemerintah Zionis Israel memutuskan memasukkan Masjid Ibrahimi dalam daftar situs-situs peninggalan Yahudi dan menyiapkan dana sebesar US$ 1,6 juta untuk merenovasinya. #

Sejarah Nakba

Merenda Mimpi Lebih dari Separuh Abad Kembali ke Kampung Halaman

Kamis, 23/07/2009 14:59 WIB

KNRP - Nakba. Artinya prahara dan bencana. Bagi kaum Muslimin, bulan Mei tahun ini adalah momentum yang mengingatkan mereka pada prahara besar. Prahara yang disebut sebagai awal bencana besar dari rangkaian bencana yang menimpa kaum Muslimin Enam puluh tahun lalu, yakni di tahun 1948, sebuah prahara dan bencana besar telah terjadi, dan dampaknya terus menerus terjadi hingga hari ini. Prahara itu, terjadi di bumi Islam Palestina di mana pada bulan Mei 1948, di mana kurang lebih satu juta warga Muslim Palestina, diusir secara terhina dari kampung halaman mereka. Yang tersisa hanya sekitar 150 ribu orang saja. Hari itu, Israel meluluh lantakkan lebih dari 500 desa dan kampung di Palestina yang menyebabkan lebih satu juta warga Palestina menjadi pengungsi. Tak lama setelah itu, di atas puing dan air mata Palestina , Israel mendeklarasikan negaranya. Hari itu sekaligus menjadi pertanda tentara Inggris keluar dari Palestina, dengan meninggalkan penerusnya, Zionis Israel . Kini, rakyat Palestina yang mengungsi telah memiliki keturunan yang banyak hingga mencapai sekitar 5 juta orang. Cara itulah yang sudah digariskan oleh Ben Goreon, salah satu pendiri Zionis Israel , “Hancurkan Palestina, itu adalah syarat bagi berdirinya Israel .”

Peristiwa Nakba, kemudian bergulir menjadi peristiwa yang membuat air mata dunia Islam menangis dan merintih. Sebagian umat Islam mengadakan peringatan peristiwa itu dengan menggalang aksi dan berbagai kegiatan demonstrasi. Ada juga yang melakukan berbagai kegiatan semacam konferensi, muktamar, atau penggalangan tekad kebangkitan untuk melawan penindasan dan kembali ke kampung halaman. Enam puluh tahun Nakba, mengingatkan kembali kaum Muslimin atas kejahatan Zionis Israel yang melakukan ragam kezaliman tak terperi, bukan hanya pada dunia Islam tapi juga pada kemanusiaan secara umum. Seorang penulis Palestina, Dr. Ibrahim Hammami, menuliskan 60 Nakba dalam memperingati 60 tahun Nakba. Baginya, Nakba tidak hanya terjadi pada tahun 1948, tapi terus menerus terjadi setiap perguliran tahun. Ia menyebutkan, “Kita diusir dari tanah air kita adalah nakba. Tentara Arab gagal menyelamatkan umat Islam dari Israel adalah nakba. Gencatan senjata sepihak yang disepakati adalah nakba. Kekalahan tahun 1967 dan hilangnya sebagian wilayah Palestina adalah Nakba. Kesepakatan Camp David adalah nakba. Pembunuhan kaum Muslimin di Palestina yang terus menerus berlangsung adalah nakba. Perundingan Oslo adalah Nakba…..” dan seterusnya. Peristiwa utama Nakba, secara khusus adalah, berubahnya status lebih dari dua juta orang kaum Muslimin di Palestina menjadi pengugnsi di berbagai negara tetangga, hingga hari ini.

Mereka Takkan Lupa Kampung Halamannya

Seorang kakek yang sudah renta, berdiri sambil memegang tongkat. Ia melihat ke arah peta yang dihamparkan di hadapannya. Ia ingin menjelaskan isi peta itu. Seorang anak, menolongnya sambil mengatakan, “Biar aku bantu engkau menjelaskannya kek. Apakah yang kakek maksud letaknya di sini?” Tangan anak itu menununjuk ke arah sebuah kota di peta, tapi sang kakek menggelengkan kepalanya.

Mata anak itu kemudian sibuk ke arah yang lain di dalam peta, mencari sesuatu yang dicarinya. Sang kakek menenangkannya, “… pasti ada kota itu, percayalah. Dia ada di suatu tempat… “ Tak lama kemudian, mata sang anak berbinar dan mengatakan, “… Ya, aku dapat, aku dapat.. “ Ia lalu menunjukkan satu titik di dalam peta yang bertuliskan “Pasen.” Sang kakek turut gembira dan mulai menceritakan kisah tentang peristiwa Nakba dan bagaimana kedukaannya terusir dari kampung halamannya. Ia jelaskan bagaimana desa Pasen dahulu adalah desa yang indah, karena memiliki sejumlah taman dan kebun hijau. “….Kelak kita harus bisa kembali ke sana nak…” ujar sang kakek.

Itu adalah penggalan kisah yang mencerminkan bagaimana penduduk Palestina yang terusir tetap menanamkan keyakinan kepada anak keturunannya, tentang tanah kampung halaman mereka. Penggalan kisah ini menjadi penting, karena sekitar tiga puluh tahun sebelum ini, Perdana Menteri Israel Golda Maeir, pernah berbicara di hadapan orang-orang Zionis Israel , soal cara paling efektif menghilangkan orang-orang Palestina. “Bunuh orang-orang tua mereka, setelah itu generasi mereka yang masih kecil akan lupa pada mereka.” Dan kini setelah banyak orang-orang tua yang sudah meninggal karena kekejaman Zionis Israel . Apakah generasi setelah mereka lupa? Kisah di atas menjadi jawabannya.

Anwar Barawi, dosen fakultas pendidikan di Universitas Islam di Ghaza mengatakan, “Generasi Palestina takkan bisa dilupakan dari peristiwa Nakba. Mereka akan tetap mengingat kuat peristiwa itu sesuai dengan kisah yang mereka dapatkan secara turun temurun dari para orang tua tentang Nakba. Jiwa mereka akan tetap berdegup karena kerinduan untuk kembali ke kampung halaman. Mereka akan bicara bangga tentang tanah kelahiran mereka, tentang kampung halaman mereka, seperti mereka pernah hidup di sana .” Menurut Barawi, orang-orang Israel memang dahulu ingin agar bila para orang tua Palestina meninggal, maka anak-anak kecil mereka akan melupakan peristiwa Nakba. “Ini tidak akan terjadi. Cinta kampung halaman telah terwariskan dengan baik dari generasi ke generasi. Dan anak-anak akan menjadi saksi atas luka dan derita dari pengusiran keluarga mereka,” ujar Barawi.

Memang itulah yang terjadi. Keluarga Muslim Palestina telah menjadikan kisah tentang peristiwa Nakba sebagai kisah wajib bagi keluarga mereka. Seorang nenek, ada yang menyimpan kertas-kertas lusuh karena termakan usia puluhan tahun, untuk mengingatkan anak-anak tentang kampung halaman yang harus direbut kembali dari tangan Zionis Israel. Seperti yang dilakukan oleh seorang nenek kepada cucunya bernama Shamud (15). Sang cucu kini bisa berkata dengan penuh keyakinan, “Cita-cita untuk kembali ke kampung halaman akan tetap ada dalam benak pikiran generasi Palestina selanjutnya. Orang-orang tua kami sebelumnya telah menyampaikan dengan penuh kerinduan, sekaligus takut bila kami melupakan kampung halaman kami dan tanah air kami. Tapi itu tidak akan pernah terjadi. Benar, kami tidak pernah melihatnya sekalipun. Tapi kondisi kampung halaman itu begitu melekat dalam jiwa sampai jasad kami, sampai kami merasakan bisa menghirup napas di tempat itu.”

Berbeda dengan Khalid yang kini berusia 10 tahun. Ia menceritakan, kakeknya menitipkan segumpal tanah yang disimpan dalam sebuah kotak, untuk dirinya. Ia mengatakan, sang kakek memberikan kotak berisi gumpalan tanah itu dengan mengatakan, “Ini adalah tanah dari kampung halamanmu, jangan sampai engkau lupa dengan tanah airmu. Jika aku mati dan aku belum bisa kembali ke sana , engkaulah yang harus kembali ke sana .” Khalid kemudian bisa menceritakan peristiwa Nakba yang sesungguhnya tidak dialaminya. Tapi tampak dari uraiannya, peristiwa itu begitu melekat kuat dalam alam pikirannya. Ia mengatakan, “Aku bisa bercerita dengan bangga untuk kembali ke kampung halaman kami yang terampas. Kami bisa menggambar kampung halaman kami. Kami bernyanyi tentang kampung halaman kami….”

Pengungsian Paling Lama Sepanjang Sejarah

Ya, setelah kini 60 tahun berlalu dari peristiwa Nakba. Generasi ketiga Muslim Palestina masih menyimpan baik ingatan dan kerinduan mereka tentang kampung halamannya. Ingatan yang sudah menyatu dengan darah daging mereka. Di keluarga yang lain, seorang kakek bernama Ibrahim Sharab, biasa mengumpulkan empat orang cucunya untuk bercerita dan menanamkan pemahaman tentang peristiwa Nakba sekaligus tekad untuk kembali ke kampung halaman. Ia bercerita tentang keindahan desa yang kini diduduki oleh Zionis Israel . “Pohon-pohon di Yafa, sangat indah dan menyejukkan mata yang memandangnya…” ujar Sharab untuk membangkitkan kerinduan cucu-cucunya kepada Yafa. Sampai seorang anak yang bernama Haifa Yasin (8) bisa menyebutkan hampir detail kondisi tanah kelahiran kakeknya secara geografis dan hal apa saja yang istimewa di sana . “Nenek memberikan nama untukku dengan Haifa adalah karena nenek sangat cinta pada Haifa . Dia yang mewasiatkan kepadaku, agar aku tetap mengingat kampung halaman kami yang pertama, dan bagaimana kondisi rumah kami waktu itu,” ujar Haifa .

Di antara keluarga Muslim Palestina ada juga yang memiliki cara unik lain untuk menanamkan kenangan dan kerinduan generasi setelahnya, kembali ke tanah yang dirampas Israel . Seperti yang disampaikan seorang anak bernama Aed, usia sepuluh tahun. Ia mengatakan, dirinya mendapat titipan yang harus dijaga dari kakeknya. Dan titipan itu akan diberikan kelak ke anak keturunannya, selama mimpi kembali ke kampung halaman belum tercapai. Titipan itu adalah sebuah kunci. Ya, kunci rumah kakek nenek mereka dahulu di Yafa. Rumah mereka sudah pasti tidak ada lagi saat ini. Tapi kunci itu menjadi saksi sejarah sekaligus benda yang mengikat kuat hubungan generasi penerus yang terusir dari Palestina. Bahwa, suatu saat mereka harus bisa kembali ke kampung halaman.

Menurut data UNRWA, jumlah para pengungsi yang kini populasinya sudah lebih dari 5 juta orang, awalnya adalah sekitar 1,5 juta orang yang terusir dari Palestina. Sebanyak 640an ribu orang tersebar di 19 lokalisasi tenda pengusian di Tepi Barat, dan 820 ribu pengungsi lainnya tersebar di delapan pengungsian di Ghaza dan sekitarnya. Jumlah pengungsi akibat Nakba tahun 1948 itu ditambah lagi dengan pengusiran yang dilakukan Israel di tahun 1967, di mana sekitar 350 ribu orang Muslim Palestina dipaksa meninggalkan kampung halaman mereka dan berubah menjadi pengungsi selama lebih dari separuh abad. Inilah pengungsian yang paling lama sepanjang sejarah. (M. Lili Nur Aulia)

Sampai Abad 17, Orang Yahudi Tak Punya Tanah di Al-Quds

Selasa, 28/07/2009 12:26 WIB

KNRP - Pusat Studi dan Konsultasi El-Zaetunah baru-baru ini merilis buku terbaru berjudul ‘Kota Al-Quds: Penduduk dan Wilayahnya (Arab dan Yahudi) Tahun 1858-1948”. Buku itu ditulis oleh Profesor Dr Muhamad Isa Salehiyah, guru besar sejarah dan peradaban dari Universitas Yarmuk Yordania. Demikian seperti ditulis situs palestine times.

Buku yang terbit dari pusat studi di Beirut itu merupakan studi ilmiah mendalam terkait Al-Quds (Yerusalem), wilayah dan penghuninya antara Arab d an Yahudi pada tahun 1858-1948. Buku itu terasa sangat istimewa dikarenakan didukung oleh dokumen-dokumen dari Khilafah Ustmaniyah (Otoman), Inggris, AS dan Zionis. Selain itu, pakar sejarah itu juga merujuk kepada catatan-catatan pengadilan resmi di Al-Quds dan risalah-risalah Dewan Kota di Al-Quds untuk membaca ulang bagaimana berkumpulnya komunitas imigran-imigran asing Yahudi berdatangan ke Al-Quds dan membaca ulang bagaimana mereka bermukim di perbatasan-perbatasan Al-Quds dan sekitarnya.
Salehiyah menemukan bagaimana orang-orang Yahudi menggunakan cara-cara kotor dan tipu-muslihat serta permainana tingkat tinggi atas undang-undang Kesultanan Ustmaniyyah agar mereka bisa melawat ke Al-Quds untuk kemudian membentuk komunitas tersendiri. Guru besar itu juga memaparkan cara-cara orang-orang Yahudi untuk mengokohkan konsep migrasi, permukiman dan cara mendapatkan tanah di era Ustmaniyyah, terutama terkait undang-undangnya, pajak, pencabutan aset-aset, pengusiran secara paksa untuk para petani serta sanksi-sanksi massal.

Penemuan terpenting dari buku itu adalah, sampai abad ke-17 terbukti secara meyakinkan bahwa orang-orang asing Yahudi itu tidak pernah memiliki sejengkal tanah pun, tidak juga rumah atau pertokoan di kota-kota Al-Quds ataupun di desa-desanya. Bahkan, komplek kuburan Yahudi, dulunya merupakan tanah yang mereka sewa dari lahan wakaf Islam.

Buku itu juga menegaskan bahwa pada abad ke-17 jumlah orang Yahudi di Al-Quds sangat sedikit. Bahkan mereka yang sedikit itu sempat meninggalkan Al-Quds akibat kondisi perekonomian mereka yang terjun bebas. Oleh klarena itu, lanjut buku itu, Al-Quds pada saat itu bukanlah hal yang sangat pentin g bagi orang Yahudi.

Pada bagian lain buku itu mengingatkan peran penjajah Inggris terhadap Palestina dan Kota Al-Quds pada tahun 1917 sesuai rencana program Zionis-Inggris untuk segera dilaksanakan, khususnya terkait Perjanjian Belfour dan Mandat Inggris serta undang-undang dan intruksi-intruski serta rekomendasi-rekomendasi yang sangat menguntungkan Yahudi dan gerakan Zionisme. Namun demikian buku itu juga mengingatkan bagaimana target-target mereka melemah khususnya terkait konsep permukiman dan penyitaan tanah-tanah warga Palestina, di mana mereka menemui kebuntuan meski berbagai cara telah tempuh. Hasilnya, selama sekitar satu abad hanya 6 persen saja tanah Palestina yang berhasil dikuasai Yahudi.(milyas/paltimes)

Selang Oksigen Kehidupan dan Perjuangan Rakyat Palestina di Gaza

Selasa, 28/07/2009 14:33 WIB

KNRP - Sejak invasi militer Israel ke Jalur Gaza beberapa waktu. Informasi tentang lorong bawah tanah Gaza kian tersingkap. Ia bahkan menjadi bagian tak terpisahkan dari rahasia kemenangan rakyat Palestina atas isolasi “gila” yang dilakukan Israel terhadap lebih dari 1,5 juta orang yang hidup di Gaza. Hingga kini, meski Israel dan Mesir, mengklaim berhasil menghabisi seluruh lorong bawah tanah yang dibuat oleh warga dan pejuang Palestina, namun tampaknya kegiatan lorong bawah tanah itu masih tetap berlangsung.

Lorong-lorong itu digali dengan target bisa melewati perbatasan Ghaza-Mesir. Panjangnya minimal 800 meter dengan diameter dua meter kurang lebih. Biasanya dilakukan sekitar 12 hingga 14 meter di bawah permukaan tanah. Satu lorong panjang itu, bila selesai, minimum menghabiskan biaya sekitar 20 ribu dollar. Uang itu, separuhnya biasa diberikan untuk pemilik rumah atau tanah tempat penggalian. Lalu separuhnya untuk peralatan dan juga para tukang. Meski biaya penggalian lorong ini mahal, tapi pemodal diprediksi memperoleh keuntungan berlipat antara 3 sampai 50 ribu dollar setiap bulannya.

Pekerjaan ini memang bukan sederhana. Selain memerlukan perlengkapan dan tenaga ahli yang siap menjalaninya, jenis tanah yang digali juga harus diperhitungkan. Para insinyur lorong yang akan menilai layak atau tidaknya lokasi tanah yang digali. Tanah itu antara lain harus lebih banyak unsur tanah liatnya, dan sedikit pasirnya. Jarak atau panjang lorong yang akan digali juga harus diukur dengan cermat, karena sangat berkait dengan kokoh tidaknya lorong yang digali serta jenis tanahnya. Setelah semua perhitungan selesai, proses dilanjutkan dengan menggali sumur berdiameter 1 meter sedalam 12 hingga 13 meter, dengan diperkuat dengan tiang-tiang penyangga di sisi-sisi lubang itu. Kedalaman seperti ini, tidak dilakukan pada waktu lalu mengingat sebelumnya lorong bawah tanah hanya digali sedalam dua atau tiga meter di bawah permukaan tanah saja. Tapi menurut para pakar lorong bawah tanah, kedalaman sangat dibutuhkan untuk menjadikan lorong bawah tanah tetap kokoh meski lalu lalang di atasnya alat transporasi dan peralatan perang berat milik Israel. Di sisi lain, dengan kedalaman lorong seperti itu, militer Israel tidak akan bisa mendeteksi keberadaannya. “Teknologi Israel hanya mampu mendeteksi kedalaman 8 meter saja,” ujar Hanei, salah satu pakar lorong bawah tanah.

Satu buah lorong bawah tanah, biasanya memerlukan sekitar 15 orang pekerja. Mereka akan mengerjakan proyek selama kurang lebih dua bulan tanpa henti siang dan malam. Bukan hanya pekerja penggali yang diperlukan, tapi juga harus ada setidaknya tiga orang insinyur yang ahli dalam merancang ragam kelaziman proyek lorong bawah tanah itu. Misalnya saja, pihak yang disebut sebagai insinyur itulah yang akan menyiapkan peralatan galian, tabung oksigen, penerangan, dan mengukur dalamnya lubang serta diameternya untuk menghindari kemungkinan ambruk. Tabung oksigen sangat diperlukan dalam proyek ini, karena penggalian dilakukan di kedalaman yang berbeda-beda tergantung kekokohan tanah. Kematian yang terjadi bagi pekerja proyek ini, selain karena ambruknya lorong, ada pula yang mati karena kehabisan oksigen dan menghirup udara beracun. Bahkan tidak jarang, lorong yang sedang dibuat dihantam oleh ledakan bom penjajah Israel, yang memang terus melacak keberadaan lorong-lorong ini, hingga mengubur siapapun yang ada di dalamnya. Sejak awal tahun 2008, diperkirakan para pekerja lorong yang meninggal telah lebih dari 35 orang.

Ada memang korban yang tidak sampai meninggal. Mereka umumnya, para pekerja yang sakit parah akibat menghirup gas beracun di bawah tanah. DR. Sayed Abu Hamzah, direktur rmah sakit Najjar di Rafah mengatakan, “Dalam beberapa pekan lalu, jumlah para korban kritis dari penggali lorong meningkat. Sebagian bisa diselamatkan, dan sebagian lain tak tertolong. Tidak sedikit dari mereka yang setelah sembuh, kembali lagi melakukan pekerjaan yang sama. Ini bukan hal baru. Penggalian lorong memang berbahaya, tapi tiga bulan terakhir kondisi ekonomi mereka memang semakin sulit.”

Sejarah Lorong Bawah Tanah
Jika mau dirunut, lorong bawah tanah ini mempunyai sejarah yang cukup panjang. Kisahnya kembali ke awal-awal tahun 80an, setelah ditarik garis demarkasi antara wilayah Mesir dan Israel pasca perundingan Camp David. Dampak dari garis demarkasi itu, berdampak pada kesulitan transportasi ekonomi antara Palestina dan Mesir. Ketika itulah, lorong-lorong bawah tanah mulai dikenal untuk sarana pemasokan barang kebutuhan penduduk Palestina. Kondisi itu lalu berkembang setelah meletupnya intifadhah pertama di tahun 1987, di mana lorong-lorong bawah tanah lebih banyak digunakan untuk suplai senjata para pejuang Palestina. Saat itu, lorong bawah tanah tak hanya menghubungi antara Palestina dan Mesir, tapi juga antara rumah-rumah pejuang di Palestina. Sejumlah lorong ada yang berjarak 30 meter saja untuk menghubungi antara rumah pejuang. Lorong itu digali dari dua arah dan bertemu di titik yang sama, untuk kemudian menyambung dengan lorong-lorong yang lain. Mirip dengan lorong tempat persembunyian tikus tanah.

Penjajah Israel yang mengetahui adanya lorong-lorong itu, segera menghancurkannya berikut rumah-rumah para pejuang. Para pejuang kemudian melakukan inisiatif lain untuk tetap memiliki kekuatan mereka dan melakukan proyek penggalian lorong bawah tanah yang lebih dahsyat lagi panjangnya. Tercatat dalam banyak dokumen perjuangan, para pejuang ketika itu bisa membuat lorong bawah tanah yang panjangnya mencapai 700 meter hingga 1000 meter, dengan kedalaman minimal 15 sampai 40 meter. Lorong-lorong itulah yang digunakan para pejuang untuk memasok ragam amunisi dan senjata sebagai modal perlawanan mereka mengusir penjajah Israel.

Sejak dua tahun terakhir, terlebih setelah pertengahan Juni tahun lalu ketka Gaza dikurung oleh Israel secara kejam, penduduk Palestina tak punya pilihan lain kecuali menggali lorong bawah tanah itu untuk menyambung hidup. Lewat lorong itulah mereka bisa mendapatkan makanan, obat-obatan, barang dagangan, alat elekronik, serta lainnya. Selain itu, lorong-lorong ini juga digunakan untuk lalu lalang banyak orang dari Mesir yang ingin ke Gaza, atau sebaliknya. Dalam sejumlah informasi, disebutkan ada lebih dari 800 orang yang masuk ke wilayah Gaza sejak satu tahun terakhir melalui lorong bawah tanah. Meskipun masuk ke lorong itu bukanlah tanpa risiko. Abu Ibrahim, salah satu dari mereka yang menggunakan lorong itu untuk masuk Gaza dari Mesir bercerita, “Saya dibayar 5000 dolar untuk membawa sejumlah barang dagangan dan kebutuhan Gaza. Saya punya pengalaman yang tak terlupakan, karena saya pernah hampir mati terkubur dalam tanah selama 15 menit kemudian berhasil di selamatkan. Benar-benar terasa sangat lama saya menanti penyelamatan ketika itu.” Diperkirakan, saat ini minimal ada 500 lorong bawah tanah yang menghubungkan antara Gaza di Palestina dan Rafah di Mesir.

Lorong-lorong itu terus dibangun. Setiap kali Israel menghancurkannya, tak lama setelah itu lorong lainnya dibuat. Boleh jadi, lorong yang dibuat setelah itu pun dilakukan di tempat yang sama. Bagi penduduk Gaza, itulah lorong-lorong kematian, sekaligus lorong-lorong kehidupan. Lorong-lorong itu diistilahkan media massa Arab dengan, “lorong-lorong yang menyerupai selang oksigen bagi penduduk Gaza.” (M. Lili Nur Aulia)

Peneliti Zionis Manipulasi Sejarah Bangsa Palestina

Selasa, 28/07/2009 17:55 WIB

KNRP - Orang-orang Yahudi Zionis melakukan berbagai cara untuk mengaburkan sejarah Palestina. Seorang peneliti Israel bernama Tsivi Misinai baru-baru ini membuat thesis yang tidak masuk akal tentang sejarah orang-orang Palestina. Dalam thesisnya, peneliti yang bekerja untuk lembaga Ariel Center for Policy Research (ACPR) itu menyebutkan bahwa mayoritas rakyat Palestina sekarang ”dari sisi genetika adalah keturunan orang-orang Yahudi.”

Klaim Misinai berdasarkan hipotesa bahwa ketika kekaisaran Romawi mengucilkan orang-orang Ibrani ke luar Palestina, masih ada segelintir orang Ibrani yang tetap tinggal di Palestina dan mereka diislamkan pada masa kekhilafahan Turki Ustmani. Merekalah yang menurut Misinai, kemudian menjadi cikal bakal orang-orang Palestina sekarang.
Thesis itu dibantah keras oleh para pakar sejarah Palestina. Mereka menilai thesis Misinai tidak bertolak belakang dengan sains dan fakta sejarah. ”Klaim bahwa ada gen Yahudi pada orang-orang Palestina sekarang adalah klaim yang lucu dan tidak bisa dipertanggungjawabkan dari sisi keilmuan,” kata Kamel Katalo, seorang profesor sosiologi di Universitas Al-Khalil. ”Setelah membaca thesisnya, kesan saya orang ini membuat generalisasi yang serampangan dan ia membuat kesimpulan yang salah besar karena premis-premis yang diajukannya masih harus dipertanyakan,” ujarnya.

Salah satu kelemahan teori Misinai, tambah Katalo, istilah ”gen Yahudi” yang digunakan oleh Misinai tidak pernah ada. Kalaupun ”gen Yahudi” semacam itu ada, pasti sekarang ada definisi khusus tentang yang dimaksud ”orang Yahudi”. “Jika ada keunikan pada gen Yahudi, lalu bagaimana menjelaskan fakta bahwa ada orang-orang Yahudi dari berbagai ras?,” tanya Katalo.

Bantahan lainnya disampaikan Ismail El-Shindi, profesor jurusan yurisprudensi Islam di Universitas Terbuka Al-Quds. Ia menolak thesis Misinai yang menyebutkan bahwa kekhilafahan Turki Ustmani telah mewajibkan orang masuk Islam. ”Klaim itu bohong. Tidak ada paksaan dalam Islam. Orang-orang Yahudi, Kristen dan penganut agama lainnya dijamin kebebasan beragamanya dibawah kekhilafahan Islam,” tukas El-Shindi. Ia juga mengatakan, jumlah orang Yahudi di Palestina pada masa kekuasaan Turki Ustmani, sangat sedikit. Terutama di masa-masa awal pemerintahan kekhilafahan Islam itu.

El-Shindi berpendapat, thesis Misinai adalah bagian dari rencana besar Israel untuk memanipulasi sejarah Palestina. Rezim Zionis, kata El-Shindi, ingin menimbulkan kesan bahwa orang-orang Yahudi sudah sejak lama mendominasi tanah Palestina dan klaim itu sama sekali tidak benar. (aisyah/iol)

Media Israel Publikasikan Dokumen Perang 1967

Sabtu, 12/12/2009 21:13 WIB

KNRP - Setelah 42 tahun dari perang pada bulan Juni 1967, situs berita Israel Yediot Aharonot mempublikasikan dokumen-dokumen pribadi milik tentara-tentara Mesir yang tewas terbunuh selama perang itu, dan adalah salah satu tentara pendudukan Israel yang melucuti dokumen-dokumen pribadi itu untuk kemudian menyimpan di rumahnya sampai sekarang.

Menurut Yediot Aharonot, seperti dikutip maannews, Sabtu (12/12), dokumen-dokumen itu berada pada salah satu tentara itu yang mengaku akan mengembalikannya ke Mesir setelah satu setengah tahun dari kematian ayahnya yang dijuluki “Ping Besar”, yang ikut dalam perang itu di kesatuan pasukan terjun payung Israel, dan ia itu mengumpulkan dokumen-dokumen itu dari tubuh tentara Mesir yang tewas selama perang.

Dokumen-dokumen ini termasuk kartu identitas/KTP, catatan memoar dan foto anak muda Mesir. Selain itu, Aharonot juga memperlihatkan sebagian yang tertulis dalam catatan memoar tentara Mesir itu antara tulisan “Kami terkejut oleh serangan pesawat Israel, kami tidak menyangka serangkaian serangan udara seperti ini. Pesawat-pesawat Israel itu menyerang garis depan tentara Mesir. Kami terkejut dengan dibomnya bandara-bandara di Kairo dan penghancuran oleh 71 pesawat atas wilayah itu. Juni 1967.”

Sementara memoir tentara Mesir yang lainnya tertulis, “Kami melakukan serangan di pagi hari. Kami telah menangkap 8 pilot Israel, kami telah menjatuhkan 8 pesawat Israel selama serangan udara pesawat-pesawat Israel, saat itu saya sedang duduk dengan seorang teman bernama Jalal Saeed Abdul Hamid dari Ismailia, Jalan El-balaaj 5. Kami berada di lokasi untuk memonitor pada gunung yang tinggi, dengan peralatan komunikasi dan senjata pribadi jenis Kalashnikov.”

Belakangan diketahui bahwa tentara Mesir yang menulis catatan itu adalah Mahmoud Ibrahim yang bertugas di unit militer nomor 451031 di Angkatan Udara, dan nomor pribadinya adalah 904.841.

Dokumen-dokumen itu juga mengungkapkan sebagian dari kehidupan pribadinya, dimana ditemukan juga sebuah foto dari seorang temannya pada tahun 1966, dan pada foto itu tertulis Mahmoud Abad. Lainnya lagi, dokumen-dokumen itu juga terdiri dari KTP prajurit lain atas nama Hasan Salim Hijo dari Kota Zagazig, yang bertugas di unit yang sama.

Menarik dicatat bahwa apa yang dipublikasikan oleh Yediot Aharonot itu tidak mengungkap bagaimana dan di mana ia terbunuh, namun diduga kuat dokumen itu berkaitan dengan pembantaian yang dilakukan oleh Unit Shaked pada akhir perang 1967, yang menewaskan 250 tentara Mesir.(milyas/maannews)

Buku Baru Koreksi Sejarah Kuno Palestina

Kamis, 17/12/2009 22:41 WIB

KNRP – Sebuah buku baru karya penyair dan juga kritikus, Profesor Azzedine Munasharah yang berjudul “Palestina Kanaan: Telaah Baru dalam Sejarah Palestina kuno,” diharapkan dapat memecahkan masalah Palestina pada zaman prasejarah, dan ia menyimpulkan bahwa manusia muncul di Palestina sebelum 70 ribu tahun dan itu tempat kelahiran Bangsa Semit pertama yaitu Palestina dan Transjordan.

Di antara fakta-fakta baru yang diajukan oleh penulis adalah koreksi atas gerakan Kristus dan Nabi Ibrahim serta hubungan yang terjadi antara keduanya dikaitkan dengan Palestina, dan bangsa Palestina dan orang Kanaan adalah penduduk asli di Palestina dan kedua bangsa itu bukan berasal dari Jazirah Arab atau Yunani, meskipun penulis tidak menyangkal adanya pertukaran dalam migrasi.

Penulis juga menyimpulkan bahwa abjad pertama di dunia berasal dari selatan Palestina sebagai tahap pertama untuk kemudian berkembang di utara Suriah, dan matang dalam foto dan Byblos di Lebanon, dan Venisia secara harfiah adalah anak-anak Kanaan.

Munasharah juga mengungkapkan peta baru untuk pertama kalinya di era modern sebagai alternatif dari peta Clotsr, ahli bahasa Semit Jerman, dimana bahasa Kanaan adalah bahasa ibu bangsa Semit dimana para orientalis sudah lama meneliti bahasa itu tanpa menemukan namanya.

Penulis itu menegaskan bahwa orang Kanaan di Palestina adalah warga pribumi yang bukan berasal dari Jazirah Arab. Munasharah kemudian mengutip orientalis Inggris De Lacy O’Leary, penulis buku “Tanah Orang-orang Arab sebelum Misi Muhammad”, dimana dalam kasus Palestina ada alasan untuk percaya bahwa sebagian besar petani Palestina saat ini adalah anak cucu Kanaan.

Dikatakan dia bahwa sejarah kuno Palestina diterbitkan dalam bahasa Arab dan para orientalis benar-benar telah memalsukannya. Lalu ia menjelaskan bahwa yang melakukan pemalsuan itu adalah seorang konsul dari Perancis di Yerusalem.

Ia juga menyimpulkan mengenai masalah bahasa dan tulisan Kanaan secara mengejutkan, bahwa bahasa Kanaan adalah bahasa ibu bangsa Semit, Akkadia Sumeria, Aram dan Arab kuno dimana itu merupakan bahasa dan tulisan Kanaan kuno, yang juga sebagai abjad pertama di dunia dan orang-orang Venisia itu secara harfiah artinya anak-anak Kanaan dalam bahasa Yunani kuno.

Penulis untuk pertama kalinya mengajukan peta baru dari cabang-cabang bahasa Kanaan yang membantah peta Clotsr yang membagi bahasa-bahasa Semit berdasarkan pembagain dari Taurat.

Demikian juga di buku itu membaca ulang tentang Nabi Ibrahim dengan mengkritik dua teori sebelumnya yaitu teori Kamal Shalbi dan Syed Kamal Qimni yang menjadikan Ibraham seorang Armenia. Kejutan di buku itu menyebutkan bahwa Ibraham lahir di Ur Sodom dan bukan di Irak serta ia tinggal di sebuah Khil Ail yakni nama lama untuk kota Hebron (Khalil). Munasharah mengutip sejarawan Inggris, Dichter, yang menegaskan bahwa rumah asli keluarga Ibrahim adalah di Palestina.

Pada sisi lain Munasharah memberikan solusi terkait masalah Yerusalem Kanaan, dimana ditegaskannya bahwa kerajaan pertama di Palestina dan Yerusalem sebagai ibukotanya adalah Kerajaan Palestina Adumiyah yang dipimpin oleh Bangsa Heradasah pada periode 48 SM- -100 M, dimana saat itu dipimpin oleh Heridus yang agung dan itu seorang Palestina dari Ashkelon yang membangun kuil untuk agama-agama pagan dan itulah agama pagan kaum Kanaan , pagan Yunani-Romawi, dan sekte Allah (Jehovah) penyembah berhala, dan tidak ada dalam sejarah kuno satu kuil pun kecuali kuil itu yang diperuntukkan untuk semua agama pagan.

Patut dicatat bahwa Dr Munasharah itu adalah seorang kritikus dan pemikir Palestina serta profesor di Universitas Philadelphia Yordania dan telah menerbitkan 11 buku puisi dan 16 buku yang kritis diantaranya terkait ilmu identitas, linguistic pluralisme dan lainnya.(milyas/aljzr)

Dokumen Penyitaan Tanah Wakaf Al-Quds Terkuak

Kamis, 31/12/2009 12:29 WIB

KNRP - Seorang pengacara yang mengkhususkan diri dalam masalah Al-Quds (Yerusalem), Qais Nasser, menyingkap dokumen-dokumen yang menjelaskan kontrol lembaga-lembaga Israel atas area wakaf-wakaf Arab-Islam yang berada di dalam pagar tembok Baldah Qadimah (Kota Tua). Lembaga-lembaga itu, sambung dokumen itu, secara jelas didanai oleh Pemerintah Israel senilai 100 juta dollar.

Dokumen-dokumen dan peta-peta yang diperlihatkan kepada Aljazeera itu menunjukkan bahwa Israel pada tahun 1968 telah menyita 133 hektare dari area tanah waqaf Islam, yang berada di dalam pagar tembok di Kota Tua sampai ke Tembok Ratapan di sebelah timurnya.

Menteri Keuangan Yitzhak Modai pada tahun 1992, kata dokumen-dokumen itu, telah menandatangani sebuah peta area tanah yang menjelaskan batas-batas tanah-tanah waqaf yang disita untuk kemudian didaftarkan pada tahun 1993 sebagai area dengan atas nama Negara Israel.

Dokumen-dokumen itu menunjukkan bahwa Pemerintah Israel pada tahun 1971 diketahui telah menyewakan arena tanah wakaf itu kepada Perusahaan Pengembangan Komplek Yahudi di Yerusalem tanpa dikenai biaya selama 49 tahun yang akan berakhir pada 2020.

Lebih jauh Nasser mengatakan, Perusahaan Yahudi itu melaksanakan proyek-proyeknya di pelataran Buraq dengan memakai nama sebuah yayasan yahudi yang bernama Dompet Pewarisan Tembok Barat, yaitu sebuah asosiasi yang didirikan oleh pemerintah Israel pada tahun 1988 untuk melakukan pekerjaan dalam bidang pembangunan dan konstruksi di pelataran Buraq yang bertujuan untuk melengkapi semua pengerjaan galian-galian di daerah Haram Qudsi.

Perusahaan Yahudi itu, menurut dokumen-dokumen itu, telah berhasil membangun 500 unit rumah di Kota Tua dan sekitar 100 toko, yang sekarang ini menjelma menjadi komplek Yahudi di Kota Tua yang berjumlah sekitar 600 keluarga Yahudi dengan jumlah anggota keluarga 4.000 orang.

Dokumen-dokumen itu menyebutkan bahwa Israel telah mentransfer ke perusahaan ini sejak didirikan pada tahun 2004 itu hampir 82 juta dolar. Sementara menurut laporan keuangan dari Dompet Pewarisan Tembok Barat itu disebutkan bahwa Pemerintah Israel telah mendanai Dompet Pewarisan itu pada periode antara tahun 2003 sampai akhir 2008 sekitar 13 juta dollar, yang digunakan untuk menggerakkan proyek-proyek yahudisasi Kota Tua.

Dokumen-dokumen juga menunjukkan bahwa apa yang disebut dengan Dompet Pewarisan Tembok Barat itu adalah sebuah lembaga yang telah bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan Israel untuk melaksanakan berbagai proyek yahudisasi Kota Tua antara tahun 1989 dan 2008, dengan total dana yang dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan sekitar 48 juta dollar.

Nasser sendiri mengungkapkan data-data dokumen itu saat dirinya berupaya untuk menentang perencanaan Israel atas Pintu Magharibah setelah sebelumnya seorang peneliti sejarah Al-Quds Dr Mahmoud Musalah mengajukan permohonan dalam hal yang sama ke pengadilan, yang akhirnya pengadilan mengeluarkan amar putusan yang melarang pemerintah Israel untuk melaksanakan perencanaannya sampai keputusan akhir pemohon.

Dr Mahmoud kemudian mengatakan, “Negara-negara Arab dan Islam serta Otoritas Palestina dan Yordania harus memberikan tekanan kepada Israel agar memaksakan diri untuk penghapusan penyitaan dan konvensi-konvensi itu.”

Ia menambahkan, apa yang dilakukan oleh negara penjajah itu bertentangan dengan hukum internasional dan bahkan hukum Israel sendiri. Ia juga menyebutkan bahwa Dewan Tertinggi Islam di dalam Palestina akan segera bertemu untuk memusyawarahkan dan mendiskusikan masalah ini dan membahas cara peradilannya secara internasional.(milyas/aljzr)

Yahudi, Nenek Moyang Taliban?

Rabu, 20/01/2010 18:20 WIB

KNRP – Apakah Taliban yang sebagian besar elemen-elemennya tergabung ke suku Pashtun yang melakukan perlawanan terhadap pendudukan AS itu asalnya Yahudi? Pertanyaan yang tampaknya cukup aneh. Tapi Kementerian Luar Negeri Israel percaya bahwa pertanyaan itu layak diteliti.
Sementara itu para ahli Afghanistan menafikan asumsi itu. Mereka melihat itu sebagai hal yang tak lebih daripada mitos lantaran itu tidak ada dasar ilmiah untuk masalah ini dan lebih untuk tujuan-tujuan politik.

Deplu Israel sendiri telah mendanai sebuah studi yang dilakukan oleh peneliti genetika asal India, Chaniz, yang saat ini sedang dalam sebuah kunjungan ke Israel guna membawa sampel genetik Suku Afridi di India dimana dari suku itulah Suku Pashtun berasal yaitu suku yang mewakili ras utama dari orang-orang Afghanistan. Sampel itu kemudian untuk dianalisis dan guna membuktikan apakah suku-suku Pashtun adalah keturunan dari Sepuluh Suku Yahudi hilang sejak sekitar 2.700 tahun yang lalu atau bukan? Demikian dilaporkan surat kabar Inggris The Guardian, Ahad (17/1), seperti disitat islamonline, Selasa (191).

Terkait laporan yang diterbitkan oleh The Guardian itu, pakar Afghanistan Habibullah Rafe dalam pernyataan eksklusifnya kepada situs BBC mengatakan, “Pashtun itu Bangsa Arya asli. Apa yang dikatakan mengenai asalnya itu dari anak-anak Israel itu sekadar teori yang didasarkan pada mitos-mitos populer. “

Dia melanjutkan, “Adapun mereka itu orang-orang Arya maka itu berdasarkan pada penelitian ilmiah yang dilakukan oleh para ilmuwan Antropologi, benda-benda kuno, bahasa dan dialek yang mereka itu diangggap sebagai Bahasa Pashtun sebagai salah satu bahasa Bahasa Arya.”

Amin Mujahid, seorang anggota Academy of Afghanistan menyetujui Rafee yang menilai teori dikaitkannya Pashtun dengan anak cucu Israel sebagai sesuatu yang tendensius, dan di balik itu untuk mencapai tujuan-tujuan politik, serta tidak memiliki dasar ilmiah.

Mencuatnya perhatian Israel terkait masalah ini bersamaan dengan menjelmanya Suku Pashtun sebagai pusat perlawanan terhadap kehadiran Amerika di Afghanistan dan Pakistan, di mana sebagian besar para pimpinan Taliban berasal dari Suku Pasthun.
Sementara terkait studi Chaniz ini diperkirakan akan memakan waktu 3 sampai 6 bulan, untuk memastikan apakah Suku Pashtun yang merupakan ras utama di Afghanistan dan Pakistan barat laut itu berasal dari suku Yahudi Efraim yang sudah punah itu.

Penelitian ini didasarkan atas asumsi bahwa Pashtun adalah keturunan dari suku Afridi di Uttar Pradesh India, dan dari sana Chaniz kemudian membawa sampel genetik dari beberapa anggota Suku Afridi untuk dianalisa dan diperbandingankan dengan sifat-sifat genetis dari suku-suku Yahudi yang hilang.

Selama berabad-abad, telah tersebar cerita-cerita Israel mengenai masalah ini, , tetapi tak satu pun dari itu dapat diverifikasi secara ilmiah.

Untuk diketahui, dari kelompok-kelompok etnis besar di dunia para ilmuwan antropologi Israel percaya bahwa etnis Pashtun atau Patton berasal dari keturunan salah satu dari sepuluh suku Israel yang hilang. Memang kadang-kadang isu itu terdengar di kalangan suku itu sendiri, tetapi itu tidak menunjukkan simpati yang kuat atau keinginan agar mereka berpindah ke Negara Israel yang didirikan di wilayah Palestina yang diduduki.

Menurut versi Israel, Nabi Musa ketika ia keluar dari Mesir ikut bersamanya 12 suku-suku dari keturunan Bani Israel, di antaranya Suku Benjamin, Rabin, Lewi, Yehuda, Gad, Asyer, Zebulon, Saar, Yusuf, Naftali, Daan, Shimon, lalu dua di antara suku itu bermukim di selatan Palestina, sementara sepuluh sisanya yang menghuni sebelah utara Palestina, mereka itu berpencar dan bermigrasi ke tempat-tempat lain. Riwayat lainnya menyebutkan, sepuluh suku-suku itu dibuang setelah orang-orang Asyur yang berhasil menaklukkan sepuluh suku Yahudi yang hilang.

Kemudian diyakini bahwa sepuluh suku yang hilang itu tersebar di seluruh daerah yang dikenal di zaman modern sekarang dengan nama utara Irak dan Afghanistan, dan dari sanalah kemungkinan dan premis itu menguat.(milyas/iol)

Yerusalem Bukan Al-Quds?

Minggu, 29/08/2010 22:58 WIB

KNRP – Peneliti Irak menemukan bahwa Al-Quds dengan nama Arabnya itu bukanlah kota Yerusalem seperti disebutkan dalam Taurat, bahwa dua nama berbeda itu tidak menunjukkan kepada satu kota yang sama seperti sudah dikenal saat ini.

Penulis Irak, Fadel al-Rubaie, dalam bukunya “Al-Quds bukan Yerusalem, sebuah Kontribusi untuk Meluruskan Sejarah Palestina,” menyebutkan bahwa Torah tidak menyebutkan nama Palestina atau orang-orang Palestina dan juga tidak pernah menyebutkan Al-Quds.

Rubaie menuduh para arkeolog dan sejarawan Torah mendistorsi fakta dengan menyediakan cara pembacaan yang keliru terhadap teks Ibrani. Ia mengatakan bahwa nama asli yang disebutkan Taurat adalah Qashquds, bukan Al-Quds, serta untuk nama Al-Quds yang Arab adalah nama yang relatif baru dan nama itu tidak hidup sampai dengan tanggal penulisan Taurat.

Dia menambahkan bahwa nama ini diberikan di dalam Taurat pada Gunung yang tinggi yang berada di berbagai tempat, desa dan lembah yang dicatat Taurat secara akurat. Ia mengatakan bahwa hanya satu gunung yang menyandang nama Qashquds yangh di sana ada lembah -lembah dan desa-desa, serta tempat-tempat itu sendiri adalah gunung kudus yang suci di selatan kota Taiz, Yaman.

Penulis itu mengatakan bahwa tembok Yerusalem yang bangsa Nehemia merenovasinya bersama-sama dengan suku-suku yang kembali dari pembuangan Babel itu secara jelas menunjuk kepada silsilah pegunungan yang menyandang nama-nama suku-suku Arab Yaman yang sudah dikenal dalam sejarah kuno Arab dan kitab-kitan tentang garis keturunan.

Dia menunjukkan bahwa suku-suku yang kembali dari pembuangandi Babel adalah suku-suku Arab, mereka telah kembali ke Yerusalem di Yaman, tidak ke Palestina.

Rubaie mengatakan, temuannya ini merupakan pengembangan teori yang ditulisnya dari buku “Palestina yang Imajiner, Tanah Taurat di Yaman”. Rubaie juga mengakui bahwa temuannya ini mungkin tidak mengejutkan nurani para Yahudi fanatik dan penganut Torah serta para orientalis, tapi itu mungkin bisa mengejutkan nurani orang-orang Palestina dan Arab serta Muslim.

Ia menjelaskan bahwa riwayat Israel kontemporer yang mengatakan bahwa Palestina adalah tanah yang dijanjikan Yahudi, bahwa Kerajaan Israel kuno di mana di sana tinggal orang-orang Israel yang berada di Palestina yang bersejarah, itu semua didasarkan pada alasan yang lemah. (milyas/aljzr)

Peta Lengkap Sejarah Palestina Diterbitkan

Minggu, 14/11/2010 07:10 WIB

KNRP - Dalam sebuah seminar terbuka di London yang bertema “Peta Palestina: Kelangsungan Hidup atau Kehancuran” berhasil diungkap Atlas Palestina karya Dr Salman Abu Sitta, dimana penulis menghubungkan antara geografi Negara Palestina dengan sejarah Nakba.

Atlas dalam bahasa Inggris itu dikeluarkan berdasarkan dokumen-doukmen langka dan referensi penting dimana itu diambil dari ratusan dokumen yang khusus terkait dengan masalah Palestina yang ditetapkan atas argumen dan bukti yang terdokumentasi secara hukum dan logis yang membuktikan ‘ke-Palestina-an’ Palestina dan menegaskan hak kembali.

Abu Sitta dengan menggunakan dokumen-dokumen itu ingin membuktikan hak-hak Palestina dan kembali menampilkan potongan sejarah Israel yang berupaya menghapus sejarah Palestina dan penghapusan atas monumen-monumennya serta kelanjutan dari Nakba.

Peta sejarah Palestina itu menampilkan dari sisi pengasingan Palestina dan menyajikan analisis historis dan sah atas pengusiran yang dimulai pada tahun 1947 dan masih terus terjadi sampai hari ini juga, selain peta itu juga menawarkan klarifikasi penting atas kebijakan pengusiran yang berhasil didokumentasikan oleh Atlas itu, yang berisi nama dan deskripsi dari desa-desa Palestina yang dihancurkan dan dihapus dari peta Israel.

Atlas itu dibagi menjadi tiga bagian, yaitu di era mandat Inggris, rincian Nakba dan tentang apa yang terjadi atas para pengungsi dan pengsiran mereka di negara dunia lalu apa yang terjadi terhadap wilayah Palestina dalam 18 tahun yang diikuti dengan pendirian Israel.

Dokumen dalam Atlas itu dinilai sebagai dokumen terbesar terkait Palestina sejauh ini yang mengandung informasi tentang 1.600 kota dan desa, dan informasi tentang 16 ribu lokasi-lokasi bersejarah, budaya dan sipil dimana ada 26 ribu nama tempat di Palestina.(milyas/aljzr)

Studi: Tembok Ratapan itu Palsu

Minggu, 28/11/2010 12:53 WIB

KNRP - Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyerukan Otoritas Palestina untuk menolak dan mengutuk studi yang dilakukan Otoritas yang isinya membantah klaim Israel terhadap Tembok Buraq (Tembok Ratapan), sebuah dinding di barat Masjid Al-Aqsa.

Sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh kantor Netanyahu mengatakan pada hari Kamis bahwa penolakan terhadap hubungan antara rakyat Yahudi dengan Tembok Ratapan oleh Menteri Informasi Palestina itu keliru dan merupakan sebuah skandal yang nyata.

Dia menambahkan bahwa penyangkalan oleh Otoritas Palestina itu menempatkan tanda tanya besar pada niat sangat nyata dalam hal untuk mencari perjanjian damai yang didasarkan pada koeksistensi dan pengakuan bersama.

Pernyataan Netanyahu itu menyatakan bahwa Tembok Barat adalah tempat paling suci orang-orang Yahudi selama hampir dua ribu tahun sampai kehancuran Haekal Suci Kedua, dan ini bukan pertama kalinya Palestina mencoba mendistorsi fakta-fakta sejarah, dalam rangka untuk menyangkal hubungan antara orang-orang Yahudi dan tanah airnya.

Pernyataan itu menambahkan bahwa Pemerintah Israel mengharapkan kepala Otoritas Palestina mencuci tangan mereka dari situasi ini dan menahan diri dari fakta-fakta sejarah distorsi dan bekerja untuk mendorong pembangunan jembatan mengarah menuju perdamaian rekonsiliasi bersejarah antara kedua bangsa.

Mutawakkil Taha, Wakil Menteri Informasi Otoritas Palestina di website Departemen Penerangan pada Rabu telah mempublikasikan hasil studinya yang melibatkan sejumlah fakta sejarah, yang menegaskan bahwa dinding Barat merupakan dinding Islam dan merupakan bagian integral dari Masjid Al Aqsa dan Haram al-Sharif, dan itu merupakan posisi yang diungkapkan oleh pemimpin Palestina Yasser Arafat.

Dia menyatakan bahwa tembok itu terletak di Kota Tua Yerusalem, dan bukan sisa peninggalan dari Kuil Yahudi yang dihancurkan oleh Romawi pada tahun 70 SM, tetapi merupakan bagian integral dari Masjid Al-Aqsa.

Studi ini mengatakan bahwa sampai 1917, orang Yahudi tidak sekali pun beribadah dalam tembok ini, karena generasi orang-orang Yahudi itu berkumpul di sana untuk menangis atas hilangnya struktur kuilnya, bukan untuk beribadah.

Taha dalam studinya menjelaskan bahwa Tembok Buraq (Tembok Ratapan bagi Yahudi) yang Israel mengklaimnya atas kepemilikan palsu, sebenarnya merupakan bagian integral dari Masjid Al Aqsa dan al Haram-Sharif, yang merupakan wakaf keluarga Boumedienne asal Aljazair, bukan batu yang sejarahnya merujuk ke pemerintahan Raja Salomo.(milyas/aljzr)

Bapak Arkeolog Israel: Bukti Eksistensi Yahudi di Al-Quds Tidak Ada

Selasa, 09/08/2011 13:51 WIB

KNRP - Arkeolog senior Israel meragukan adanya kaitan apapun antara entitas Yahudi dengan Kota Al-Quds (Yerusalem), yang itu bertentangan dengan klaim Israel ihwal kehadiran bersejarah mereka di kota itu.

Israel Finkelstein, arkeolog Israel yang dikenal sebagai Bapak Arkeolog Yahudi itu menegaskan kepada surat kabar Jerusalem Post bahwa para arkeolog Yahudi belum menemukan bukti sejarah atau arkeologi yang mendukung beberapa kisah yang terkandung dalam Taurat, termasuk cerita keluar dan masa bingung di Sinai serta kemenangan Yosua bin Nun atas Kanaan.

Berkenaan dengan klaiman Haikal Salomon, arkeolog Israel itu menegaskan bahwa tidak ada bukti arkeologi yang menunjukkan bahwa Haekal itu pernah ada di sana.

Surat kabar itu mengutip Raphael Greenberg, seorang dosen di Tel Aviv University, yang mengatakan bahwa seharusnya Israel menemukan sesuatu jika terus menggali untuk jangka waktu enam minggu, tetapi bangsa Israel di kota Daud di Silwan yang terus menggali tanpa henti selama dua tahun lalu itu ternyata tidak menemukan apa pun.

Demikian juga Profesor Yoni Mizrachi, seorang arkeolog independen, sebelumnya bekerja dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA), sependapat dengan Finkelstein. Mizrachi mengatakan, “Majelis (Elad) yang sayap kanan tidak menemukan bahkan sebuah papan pun yang bertuliskan”Selamat Datang di Istana Daud ” meskipun posisi (adanya Haekal itu) hal yang pasti dalam hal ini, seperti juga mereka bergantung pada teks-teks suci untuk membimbing mereka dalam pekerjaan mereka itu. “

Pemerintah Israel sejak pertengahan 2008 secara diam-diam dan sangat serius memulai perluas dan penguatan kontrol atas pemukim di Silwan dan daerah sekitar kota tua bersejarah itu, yang diduduki Israel dalam perang pada bulan Juni 1967 dan kemudian dianeksasi dalam langkah yang tidak diakui oleh masyarakat internasional atau PBB.

Ahli Israel percaya bahwa tujuan utama di balik kegiatan penggalian adalah untuk mendorong warga Palestina keluar dari kota suci, dan perluasan pemukiman Yahudi di sana.(milyas/aljzr)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar